Menebus Sportivitas dan Pasar Taruhan Dunia Sepakbola
Sepak bola merupakan permainan yang sudah berlangsung ratusan tahun dalam peradaban manusia. Perkembangan olahraga ini begitu masif, menyentuh hampir seluruh daratan di bawah bumi, melibatkan miliaran pasang mata setiap minggunya. Miliaran bahkan triliunan rupiah berputar dalam setiap permainannya.
Sepak bola telah berkembang menjadi industri yang dimainkan untuk sumber penghasilan. Dan bukan rahasia lagi kalau industri taruhan juga menjamur. Industri taruhan semakin kaya dan manipulatif, untuk keuntungan yang tak terukur. Sepak bola telah menjadi meja taruhan terbesar dalam sejarah olahraga manusia.
Beberapa pekan belakangan ini, suporter sepak bola Indonesia dihebohkan dengan pengakuan eks “pemain” dunia pertaruhan. Bambang Suryo yang mengatakan bahwa ratusan juta rupiah adalah hal yang lumrah dalam taruhan bola. Dealer akan datang dan menawarkan uang sebagai penyeimbang kerugian yang harus diderita timnya. Terkadang tawaran bahkan bisa berkali-kali.
Setumpuk uang bukan masalah bagi mereka tapi kita. Perang melawan judi dan taruhan sebenarnya tidak hanya dialami oleh sepak bola di tanah air. Liga-liga top Eropa bahkan sudah lama bergelut dengan praktik “setan” ini.
Liga-liga besar seperti Premier League di Inggris atau La Liga di Spanyol, telah menyelesaikan beberapa regulasi terkait perjudian. Salah satunya adalah larangan pemain, pelatih, dan ofisial dari suatu tim untuk mengikuti taruhan di pasaran taruhan manapun, bahkan selain sepak bola.
Tetapi mencari tahu siapa yang dipertaruhkan para pemain tentu saja tidak melarang hal itu. Karakter utama biasanya berasal dari “luar” tim. Mereka yang biasa kita sebut mafia, pengedar, atau makelar, adalah otak utamanya.
Tujuh tahun lalu, 36 pemain La Liga dituduh terlibat pengaturan pertandingan. Beberapa pemain top, seperti Vicente Iborra (Leicester City), Cristhian Stuani (Girona), dan Felipe Caicedo (Lazio), dikabarkan menjadi korban. Kasus ini berlarut-larut dalam beberapa tahun terakhir dan sempat menyeret nama Presiden La Liga, Javier Tebas. Hingga kini, penyidikan kasus pengaturan skor masih berlangsung.
Di Italia, tim besar seperti Juventus seharusnya malu terdegradasi. Vonis terpidana membuat Juventus terpidana secara meyakinkan. Si Nyonya Tua dinyatakan bersalah atas pengaturan skor yang berujung degradasi dan perampasan gelar Serie A Italia musim 2004/05. Kami tahu skandal ini sebagai Calciopoli.
Bisa kita tarik benang merahnya bahwa sepak bola dimanapun berada, baik liga raksasa eropa maupun negara dengan sepak bola medioker seperti Indonesia, selalu banyak diminati oleh para penggiat pasar taruhan. Apalagi untuk negara yang fanatik sepakbolanya sangat besar. Bandar judi dikatakan telah mendarah daging dalam menyusup itu.
Modus Suap
Bayangkan jika Anda adalah pemilik sebuah tim dan klub Anda sedang mengalami krisis, sebut saja krisis keuangan: Gaji pemain belum dibayarkan hingga tunggakan tidak dibayarkan. Saat semuanya gelap dan seakan menghilang, maka datanglah seseorang yang mengaku sebagai “teman”. Dia meminta tim Anda dan bersedia memberikan dukungan keuangan “gratis”. Tentunya Anda akan berpikir ini sesuatu yang mudah. Kemudian Anda menerima dana tersebut dan bantuan lainnya sampai titik tertentu, ketika dealer yang mengaku sebagai “teman” meminta skor yang mereka inginkan. Anda akan merasa tidak enak karena tidak membantunya. Dan selamat, Anda sudah menjadi bagian dari pengaturan skor. Anda telah menjadi budak untuk memperbaiki skor.
Modus seperti itu tidak selalu terjadi. BBC Indonesia dalam salah satu beritanya mengenai modus operandi yang biasa digunakan bandar judi untuk mengatur skor suatu pertandingan, bahkan bisa terjadi dengan sangat instan. Mereka datang, menawar, lalu ada match fixing.
Dua mantan pelatih Persegres Gresik United dan Persipur Purwodadi angkat bicara. Mereka mengaku mendapat tawaran hingga ratusan juta untuk mengatur hasil akhir sebuah pertandingan. Laporan sudah dibuat dan disampaikan, namun disebut belum ada tanggapan yang berarti dari PSSI saat itu.
Federasi sepak bola Indonesia, PSSI, telah menerima laporan terbaru terkait pengaturan pertandingan. Beberapa forum pun hadir untuk memastikan posisi PSSI sebagai pelindung sepak bola Indonesia. Ya, perlindungan sepakbola tetapi tidak selalu perlindungan integritas.
Integritas dan sportivitas ibarat dua mata uang yang berbeda dalam satu koin. Sportivitas hanya akan tercapai dengan adanya integritas di dalamnya. Sejauh ini, PSSI mengaku telah mengambil langkah preventif untuk memperbaiki skor. Ya, hanya sebagai pencegahan.
Setidaknya ada tiga poin utama yang diungkapkan PSSI yakni, bekerja sama dengan Genius Sport untuk memantau data pasar taruhan. Sehingga jika ada taruhan yang mencurigakan, PSSI bisa segera melacaknya. Kedua, mendalami apakah ada laporan atau tidak terkait dugaan lebih lanjut. Dan ketiga, berikan hukuman sesuai Komisi Disiplin PSSI. Misalnya, dilarang terlibat dalam urusan sepak bola seumur hidup.
Hukuman yang Adil
Sayangnya, setiap keputusan penalti yang diberikan PSSI sepertinya tidak akan memberikan efek jera yang diinginkan. Terbukti dengan banyaknya suara yang mengecewakan para pengamat sepak bola atas “ringannya” hukuman yang diberikan. Apalagi dengan banyaknya uang yang terbuang untuk menyogok pemain dan tim.
Denda 100-200 juta bahkan mungkin terasa murah. Mungkin PSSI bisa melihat betapa beratnya hukuman bagi pengatur pertandingan di daratan Eropa.
Salah satu kasus tersebut adalah wasit Jerman Robert Hoyzer, yang dijatuhi hukuman lebih dari dua tahun penjara pada tahun 2005 karena keterlibatannya dalam mengatur suap dari pemilik bar Kroasia Ante Sapina yang kecanduan judi. Hoyzer secara terpisah mengeluarkan 23 kartu merah di pertandingan tertentu. Belum lagi banyaknya penalti kontroversial yang ia berikan selama menjadi wasit lapangan untuk pertandingan di Liga Divisi 2 dan 3 Jerman.
Contoh lain yang lebih besar datang dari klub elit Perancis Olympique de Marseille, yang pada tahun 1993 berpeluang merebut trofi Liga Champions sekaligus Liga Prancis.
Sebelum bertemu AC Milan di final Liga Champions, Marseille harus menghadapi Valenciennes terlebih dahulu untuk memastikan gelar menjadi milik mereka. Presiden tim saat itu, Bernard Tapie, menawarkan suap kepada tiga pemain Valenciennes. Namun salah satu dari mereka menolak dan melaporkannya ke pihak yang memukulinya. Presiden tim kemudian dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Gelar Marseille dicabut dan mereka terdegradasi ke Divisi 2, sekaligus mencabut hak mempertahankan Liga Champions pada musim berikutnya.
Hingga saat ini belum ada keputusan PSSI yang melampaui standar sanksi terberat dalam kode disiplin PSSI 2018 terkait penanganan hasil pertandingan, yakni larangan seumur hidup berkecimpung di dunia sepak bola dan denda maksimal 500 juta.
Kini, PSSI harus lebih berani dan garang jika memang PSSI benar-benar bagian dari perang melawan mafia sepakbola. Direktur Utama Persija Gede Widiade mengatakan, PSSI harus berani dan konsisten menerapkan sanksi tegas bila perlu secara maksimal untuk meningkatkan efek jera.
Peraturan yang ada tentu saja dapat mengakomodir hal tersebut. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 juga telah diundangkan dan dapat digunakan untuk menjerat pelaku dengan pidana penjara. Hukuman yang tepat dan umum yang telah diterapkan oleh banyak negara lain di Asia dan Eropa. Bahkan jika PSSI benar-benar serius untuk menjadi bagian dari perang melawan mafia sepakbola lagi.
Ombak dapat mengalami pasang surut dan kasus ini dapat dengan cepat dilupakan kembali ke laut. Tapi atas nama sepakbola, atas nama cinta Timnas Indonesia, perang melawan mafia sepakbola harus terus berlanjut. Kita bisa memilih untuk diam dan tidak peduli jika kita hanya ingin terluka dan marah melihat kemajuan persaingan kita, kita hanya berjalan di tempat dan mungkin mundur. Karena modal utama membangun kompetisi yang sehat dan berkarakter bukan semata-mata infrastruktur dan teknis pelaksanaan, tetapi semangat integritas dan sportivitas.